Seperti posting new
place new experience, pulang Lebaran kemaren kami berkesempatan mampir
ke Dieng. Keindahan Dieng, sering kami dengar dan baca. Dan mendatanginya
sendiri, sungguh membuat hati kami tertambat disana
Dieng adalah kawasan dataran tinggi yang terletak di Jawa Tengah, masuk ke wilayah Kabupaten
Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo.
Letaknya berada di sebelah barat kawasan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Seperti biasa kami melakukan survey tempat wisata yang
akan kami tuju, juga tempat penginapannya. Dari beberapa hotel yang ada di
Wonosobo, rekomendasi paling
banyak adalah hotel Surya dan hotel Kresna (hotel ini sudah lama berdirinya,
konon Charlie Chaplin-pun pernah menginap disini).
Tapi akhirnya kami justru memilih penginapan/homestay
saja, tidak sengaja kami menemukan homestay Pondok Bambu SendangSari di agoda.com, yang
terletak 7km dari Wonosobo ke arah Dieng. Setelah melihat webnya, menelpon
pemiliknya, kami memutuskan nantinya menginap disana.
Pada hari H-nya, kami berangkat dari Jogja (sebelumnya
sudah menginap di Jogja), menuju Magelang, Temanggung dan Wonosobo. Di Wonosobo
kami sempat membeli makan siang dan melihat sekitaran alun-alun. Jalan penunjuk
ke arah Dieng mudah ditemukan. Perjalanan ke Dieng kami disuguhi pemandangan
yang luar biasa. Jalan menanjak dan berliku-liku menjadi tidak terasa dengan
pemandangan alam yang terhampar di depan mata. Dieng yang dikelilingi Gunung Sindoro
dan Gunung Sumbing membuat wilayahnya subur, cocok untuk bertanam. Tanaman
sayuran (kebanyakan kubis, wortel, buah Carica) dikanan-kiri tebing, menambah keindahan
menuju Dieng. Sekitar perjalanan 1jam kami sampai di pusat pariwisata di Dieng.
Beberapa lokasi wisata yang inginnya kami kunjungi
adalah candi Arjuna, kawah Sikidang, telaga warna, sampai mengejar sunrise di
bukit Sikunir. Info lengkap bisa dilihat di Wisata
Dieng atau Pesona
Dieng. Karena hari sudah menjelang sore, siang itu kami hanya
mengunjungi candi Arjuna dan kawah Sikidang.
Candi
Dieng,
Warisan Maha Karya Abad ke 7 Dari Dinasti Sanjaya ini masih bisa anda nikmati
kemegahannya di Dataran Tinggi Dieng. Dulu, hampir sebanyak 400 candi
pernah berdiri di tempat yang dijuluki negeri para Dewa ini sehingga Dieng
kumpulan Candi Di Dieng di sebut juga sebagai Kompleks Candi Hindu
Jawa.
Berdasarkan Prasasti yang ditemukan di situs Dieng, Candi-candi tersebut
diperkirakan didirikan pada abad ke VIII- abad ke XIII masehi, sebagai wujud
kebaktian kepada Dewa Syiwa dan Sakti Syiwa(istri Syiwa). Copas dari Pesona
Dieng.
Di sini kecuali melihat
candi, juga puas untuk berlarian di rerumputan, berloncat-loncatan dan
berphoto-ria . Panas
matahari yang tidak begitu menyengat, udara dingin yang berhembus, membuat kami
malas beranjak dari reremputan di samping candinya. Sungguh, nikmat mana yang mesti kami dustakan lagi ?
Dari candi Arjuna, kami
menuju ke kawah Sikidang, kawah yang berisi belerang seperti halnya di
Tangkuban Perahu. Hanya saja kami tidak turun dari mobil, kecuali situasinya
yang penuh, anak-anak juga mulai kecapekan.
Seharusnya kami menuju ke
Telaga Warna, cuma kami skip dulu untuk menuju ke penginapan kami. Awalnya kami
kira homestay yang kami booking letaknya di sekitar tempat wisata Dieng ini,
ternyata lebih dekat ke arah kota Wonosobo-nya, sehingga kami balik arah turun
menuju ke lokasi penginapan kami.
Kami perlu menelpon 2x ke
pemilik homestay-nya untuk menemukan lokasinya. Memang tidak ada papan petunjuk
ke arah homestay-nya. Tapi dengan bertanya ke orang-orang lokasi desa
SendangSari sebenarnya juga mudah ditemukan. Dan lokasinya memang menyendiri,
setelah melewati perkampungan SendangSari ini. Perlu diingat, jalan menuju
homestay SendangSari ini hanya cukup dilewati 1 mobil saja. Dari 3 rumah yang ada,
cuma kami yang ada saat kami sampai. Pemiliknya adalah seorang suami istri yang
sudah pensiun, dan menikmati masa tuanya di desa. Awalnya berasa sekali sepinya
homestay-nya itu, cuma karena kami datang sudah sore, dan hanya perlu untuk
tidur, ya situasinya dinikmatin saja.
Belakangan malah kami merasa enjoy dan nyaman tinggal disana, sepertinya
keramahan pemiliknya dan anaknya, sungguh membuat kami betah tinggal disana.
Homestay Pondok Bambu, Sendangsari
Malam harinya kami sempat
turun ke kota Wonosobo untuk mencari makan malam. Akhirnya kami menemukan
warung Mie Ongklok yang terkenal itu. Anak-anak sih tidak begitu suka, kalau
ayah bundanya lahap-lahap saja , apalagi dengan tempe goreng dan minuman hangat. Tambah sedap waktu membayarnya, sangat
murah sekali untuk ukuran orang Jakarta hehehe, Alhamdulillah.
Pagi harinya kami mendapat
breakfast dari homestay-nya, hanya teh hangat yang ditaruh di teko tanah, plus
nasi goreng lauk telur teplok dan krupuk, tetapi rasanya nikmat sekali. Apalagi
kami sempat mengobrol dengan pemiliknya. Konon homestay ini dibangun oleh anak
pertama beliau yang seorang arsitek, salah satu tujuannya ya untuk berkumpul
kalau anak-anak mereka pulang kampong semua. Sungguh ini menginspirasi kami
untuk melakukan hal yang sama
Oh iya, sebenarnya kami
berencana melihat sunset di bukit Sikunir. Sayang anak-anak tidak ada yang mau
bangun saat sebelum Subuh kami bangunin. Udara dingin dan memang kondisi yang
sebelumnya kecapekan membuat akhirnya kami mengurungkan diri mengejar
sunrise seperti di Bromo dulu . Pertanda kami harus balik lagi ke Dieng suatu saat nanti, aamiin.
Setelah sarapan, kami check
out dan melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Rencana awal kami akan mampir ke
rumah asisten kami yang sudah 6 th bekerja di rumah kami, yang rumahnya di
Pekalongan. Melihat peta dan mempelajarinya sebelum kami mudik, kami melihat
memang dari Dieng bisa menembus kampong tempat asisten kami tinggal di
Pekalongan. Sebelumnya kami mampir ke Telaga Warna terlebih dahulu. Dinamakan
telaga warna, memang air dari telaga yang terlihat berwarna warni seperti warna
pelangi.
Telaga Warna, Dieng
Dari telaga Warna, kami
melanjutkan ke arah Pekalongan. Map di smart phone, juga GPS sudah dipasang.
Sepanjang perjalanan meninggalkan Dieng tsb, subhanallah, sungguh pemandangan
yang luar biasa indahnya yang kami lewati. Kanan kiri jalan lukisan hijau dari
Sang Maha Pencipta membuat kami tak lepasnya bersyukur. Perkebunan petani di
lereng-lereng bukit, sawah yang mulai menguning, jalanan yang berkelok,
pohon-pohon hijau yang menjulang tinggi, angin dingin menerpa kami (sengaja AC
mobil tidak dinyalakan selama di lokasi yang hijau ini) sampai desa yang
terlihat di bawah (sewaktu jalanan ada diatasnya), sungguh membuat hati kami
tertambat akan keindahannya.
Makin lama jalan yang kami
lalui makin tidak beraspal, setelah jarang ketemu kendaraan lain, dan juga
perkampungan jarang kami temukan, kami baru sadar bahwa kami ‘tersesat’.
‘Tersesat’ yang sungguh tidak membuat kami kesal, justru bersyukur karena bisa
menikmati keindahan alam yang luar biasa indahnya. Kalau digambarkan,
keindahannya itu seperti hanya ad adi photo atau lukisan saja, tapi bedanya
sekarang sungguhan di depan mata kami.
Sebenarnya jalan yang kami
tuju itu sesuai dengan petunjuk GPS, dan setelah kami bertanya memang bisa
jalan tsb menuju ke Pekalongan, tapi memang jalanannya belum beraspal dan
jarang kendaraan lewat sana (jadi ingat kulwit baik dan benar Akhirnya kami memutuskan memutar balik melalui jalan umum .
Dari perjalanan ini,
sungguh kami sangat bersyukur memutuskan mengunjungi Dieng, pemandangan yang
sangat indah, penduduk yang ramah, makanan yang berlimpah (hehehe), membuat
hati kami tertambat di Dieng, kami berencana suatu saat akan kembali lagi.
Bahkan ayahnya anak-anak sempat berkelakar “Bun, kita besok kalau pensiun
tinggal di Dieng aja yuk”. Aamiin